Pulpen

Dunia sudah berubah atau dunia yang mengubah kita? Barangkali pertanyaan ini sudah lazim menjelang tua. Maklum, usia seperempat abad lebih bukan usia muda lagi, tepatnya mencapai usia kepala tiga. Kalau diulik lebih jauh tak ada yang berubah dari dunia. Generasi-generasi sebelum kita mungkin juga punya pertanyaan sama. Jaman sudah maju bla bla bla. Atau bagi orangtua kebanyakan, ucapannya sering kali seperti ini kepada orang yang lebih muda. "Dulu waktu kita muda belum ada barang-barang secanggih ini. Sekaranng sudah moderen dan bla bla bla."


Dahulu waktu saya sekolah semasa SMP sampai SMU, hampir tak pernah saya lupa membawa pena atau ballpoint (pulpen). Menyimpan pulpen dalam tas sekolah bahkan lebih dari satu. Hal itu, karena saya punya kebiasaan mencatat. Mencatat apa saja, mulai dari tulisan yang selalu kuingat kala menulis indah di sekolah dasar: Ini bapak budi. Ani pergi ke pasar atau pada suatu hari saya dan temman-teman pergi bertamasya ke Bantimurung (Maros-Makassar).

Membawa pulpen terus berlanjut hingga kuliah. Meski ke kampus hampir tak pernah membawa buku, paling tidak ada secarik kertas dan tentu saja pulpen selalu siap sedia. Menjadi seorang pewarta pun, membawa pulpen dan catatann masih terus menjadi kebiasaan sampai sekarang.

Kegunaan pulpen bukan hanya mencatat, namun juga bisa digunakan untuk melindungi diri. Pernah suatu ketika, teman saya dipalak di atas angkot (pete-pete) di Makassar. Namun, karena berontak ia mengambil pulpen dengan tinta air yang tajam terbuat dari perak. Alhasil, para pemalak berjumlah tiga orang itu, tak kuasa memaksa teman saya itu. Padahal ia seorang diri di atas pete-pete dan melawan sambil memegang pulpen layaknya memegang badik (senjata tajam khas bugis-makassar).

Saya tidak berbicara tentang pulpen. Saya hanya mau berbicara bahwa kemungkinan pulpen semakin berkurang digunakan. Tapi, setiap benda memang punya kenangan. Dan  kenangan saya dengan pulpen juga sangat dramatis. Ya, puisi-puisi cinta pertamakali saya tuliskan lewat pulpen. Atau lagu-lagu kenangan, juga saya tuliskan dengan pulpen dibalik buku tulis saya sewaktu sekolah. Pun punya kenangan, dilempari pulpen oleh guru sekolah.

Sekarang apa yang berubah? Manusia sekarang dengan modernitas dan tingkat mobillitas yang tinggi sudah jarang memakai pulpen sekadar mencatat. Padahal bagi saya pribadi, pulpen lebih menancap ingatan dikepala dibanding apapun itu, termasuk gadget canggih secanggih langit yang tinggi sekalipun.

Catatan pulpen, menancapkan ingatan penting di memori kepala kita. Saya percaya itu. Itu sebabnya, para wartawan di jaman dulu dan masih eksis sampai sekarang, tidak menyarankan mencatat omongan bara sumber melalui gatget serupa blackberry misalnya. Mereka menyarankan catat dengan pulpen sekaligus rekam percakapan nara sumber. Tapi saran utama terhadap percakapan wawancara dengan nara sumber ialah merekam. Seantik dan sejadul apapun rekamanmu dan secanggih apapun rekamanmu.

Bukan hanya itu. Titik berat catatan saya ini sebenarnya lebih tertuju terhadap perubahan sikap manusia dikekinian oleh ponsel canggih atau gatget mereka. Dahulu saya membayangkan ponsel, dan kini gatget serta semacamnya serupa dengan indera atau bagian tubuh yang lain. Namun, karena ponsel saat ini sudah dikendalikan dengan selera konsumtif dengan penawaran serta kecanggihan yang berbeda-beda dari si pembuat produk, maka sepertinya sudah tidak adil lagi. Sebab, ponsel canggih ditentukan dengan nilai rupiah yang erat kaitannya dengan materi. Okelah kalau dahulu ponsel sekadar memanggil dan dipanggil lewat telpon-telponan atau lewat sms. Saya masih bisa menerima itu, sebagai bagian tubuh, sebab masih bisa dijangkau rata-rata.

Ponsel memang masih bisa digunakan melindungi diri dari pemalak, selama ponsel itu ponsel tua yang akrab dikenal sebagai pengganjal ban. Tapi bayangkan jika ponsel saat ini yang akrab disebut gatget seperti android dan iphone barangkali masih pikir-pikir untuk melindungi diri dari pemalak.

Dengan pulpen dan secarik kertas, saya punya banyak teman di dunia nyata. Bandingkan dengan gatget, saya juga punya banyak teman yang bahkan lebih banyak. Namun di gatget seperti android maupun iphone teman saya sebatas virtual belaka. Sekali lagi barangkali.


untold story: saya belum pernah dengar cerita orang melindungi diri dengan gatget seperti android atau iphone ketika dipalak. Yang paling sering saya dengar mereka dipalak karena memiliki android dan iphone. Saya bukktinya--tahun 2009 nokia 9300i saya dipalak preman bermotor. Sialnya, saya tak sempat melindungi diri yang seharusnya memanfaatkan gatget saya itu (9300i). Tapi, saat itu, saya betulbetul lupa membawa pulpen dan baru mencatatnya sekarang. Wassalam  

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih