Sdikit Karya yang Lewat

Kurcaci

Masih hidupkah kurcaci di jaman ini
Sebagaimana dikatakan dalam buku dongeng tentang Kurcaci
Memang aku hanyalah bangsat
Sama dengan bangsat-bangsat yg lain
Tak seperti kurcaci yang baik hati
Pasti akan ada buku dongeng baru tentang kurcaci
Di jaman ini.

CERITA SAKU

Cerita ini kuselipkan disaku kanan
bagian dalam jaket berwarna hitam
yang panjangnya satu jari dari ujung kuku
sampai buku-buku jariku
Sedianya kupersembahkan untukmu

Cerita ini kuselipkan di saku kiri bagian luar
Pada jaket berwarna merah yang besarnya sekepal
Lima jariku
Sedianya juga kupersembahkan untukmu

Sampai pada suatu ketika cerita ini
Kupegang erat dengan tanganku dan
Kuberikan langsung kepadamu

Syukurlah akhirnya sampai juga cerita ini
Tak seperti menjadi cerita saku yang selalu hilang…


SEKOLAH YANG MEMBEBASKAN

“Apa yang mereka lakukan sekarang, kawan-kawanku yang melakukan perjalanan bersamaku di kelas yang sama di Gerbong Kereta”.

Sepenggal pernyataan tadi adalah sebuah cerita novel fakta yang berkisah seorang Totto chan anak kecil berusia belasan tahun, karena keluguan, keberaniannya menembus hal-hal yang luarbiasa. Seorang anak yang mampu mengilhami, membuka wacana pikiran kita akan sebuah “pendidikan” atau sempitnya sekolah yang menjadi candu bagi kita. Cerita tentang Tetsuko Kuroyanagi semasa kecilnya ini menggambarkan pendidikan berdasarkan keinginan , kemauan tanpa paksaan merasakan bebas meraih nilai-nilai dari pendidikan menganggap sekolah adalah tempat bermain seperti gerbong kereta yang ramai oleh penumpang lengkap dengan masinis dan kondekturnya.
Pertanyaan sekarang adakah pendidikan yang membebaskan ?, sementara yang kita kenal saat ini umumnya pendidikan yang sifatnya memaksa seolah pendidikan itu candu bagi kita sebagaimana yang dikarang dalam buku Sekolah Itu Candu, kita pernah merasa takut suatu ketika guru kita menyuruh satu persatu murid diharuskan maju ke papan tulis menyelesaikan sebuah soal mate-matika mau tak mau harus kita paksakan untuk bisa mengerjakannya bahkan kalau perlu nyontek skalipun kita mau melakukannya, memeras otak bertanya kepada orangtua sampai dipukul kalau tak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah. Gambaran seperti itulah yang kita rasakan saat ini seakan-akan pendidikan itu adalalah sebuah hantu yang setiap saat mengganggu tidur. Cerita mengenai Totto Chan atau bahkan cerita mengenai Harry Potter (seorang pemuda penyihir yang mendapatkan pendidikan di sekolah sihir Hogwarts) adalah sebuah pendidikan yang menarik dikaji. Ataukah sebuah Play Group pendidikan pada usia belia dimana kita diajak untuk bermain sambil belajar.
Pendidikan kekinian memang tak lagi membebaskan, orang dihadapkan pada paksaan-paksaan yang menyebabkan kita salah jalur. Banyak kasus semasa kita SMU misalnya, pandangan orang selalu menganggap jurusan IPA adalah yang terbaik dibanding jurusan-jurusan lainnya ataupun sebaliknya tanpa tahu minat dan bakat kita, ada beberapa faktor yang mendasari; seperti paksaan orang tua ataukah menjadi dokter itu adalah yang terbaik, menjadi Insinyur adalah yang terbaik. Sementara kemampuan kita hanyalah sebatas “Pas-pasan”. Jangan salah ketika seorang dokter melakukan mal praktek ataukah ketika seorang politisi yang seharusnya jadi pedagang melakukan korupsi. Karakter untuk menyerap pendidikan dalam diri kita akan terbentuk apabila keinginan, kemauan kita dapat tersalurkan.
Anggaplah pendidikan atau sekolah itu adalah dongeng alam bermain yang selalu kita impikan, bukan menjadi beban dalam diri kita.

“Totto chan berlari kearah sekolah kereta dia menoleh ke belakang dan berteriak MA ! CEPAT KITA MASUK KE GERBONG KELAS”.

BacaTotto Chan, Tetsuko Kuroyanagi
Sekolah Itu Candu, R. Patingomasang
Harry Potter, JK Rowling




Cerita dari negeri Bhineka Tinggal Ikat


Aku memang hanyalah simbol negeri ini yang hanya jadi pajangan di tempat –tempat formal.Burung garuda begitulah rupaku kata mereka. Menjadi pajangan di sekolah, di ruang rapat pejabat, bahkan di ruangan presiden pun aku ada mengamati keadaan negeri ini, malalui surat kabar ataupun televisi. Aku bisa melihat, meskipun aku diam bersandarkan dinding. Tetapi aku sedih, mereka mencipatakan aku untuk mencapai kemakmuran, persatuan dan keadilan bagi negeri ini. Kenyataannya negeri ini semakin kacau. Pertikaian, korupsi , saling tuduh jadi pemandangan sehari-hari di surat kabar cover depan dan berita televisi.
Kenapa mereka menciptakan aku, kenapa bukan symbol yang lain mereka pilih. Bukankah mereka lwbih menyukai simbol-simbol yang akrab dengan mereka. Ya, mungkin. Kenapa mereka tidak menggantinya dengan lambing sepakbola yang lebih mereka gilakan daripada aku yang hanya seekor burung garuda, kata mereka. Bukankah mereka lebih banyak mengetahui tentang lambang bola tersebut atau pilih saja lambang telenovela ataukah lambing mereka gila saat ini.
Negeri ini benar-benar terpuruk, tahukah kau, aku merasa sedih melihat berita di Koran tentang pertikaian, tentang korupsi, ketika aku membacanya sewaktu pejabat kita sedang rapat memegang HP di tangan kanan dan sepuntung rokok di tangan kiri. Aku menangis meskipun mereka tak bisa melihat air mataku. Aku merindukan masa-masa ketenangan dimana negeri ini tidak berkecamuk.Aku teringat ketika masa Orde Baru. Selama 30 tahun aku tenang bagaikan tidur nyenyak dengan mimpi yang indah akan bayangan negeri ini. Karena kutahu di Koran dan berita televisi tak pernah menanyakan atau menggambarkan yang aneh-aneh, semua informasi yang kudapatkan cukup membuatku tenang dengan mimpi yang indah tentang negeri ini.Tetapi Orde Baru menghipnotis aku dengan mimpi-mimpi yang indah itu, mereka
Mengelabui dengan berita atu informasi yang di setting/di atur yang menggambarkan minoritas dari negeri ini. Hingga orde, jangan menyebut orde aku trauma, sebur saja reformasi, inilah kehidupan asli dari negeriku. Negeri yang memilihku sebagai symbol yang membuka mataku dengan informasi korupsi, pertikaian dan ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.
Tapi masa ini semakin membuka mataku, mereka tak bisa lagi membodohiku, membuatku bermimpi indah tentang negeri ini. Karena informasi melalui surat kabar dan televisi. Semakin terbuka mengenai kondisi yang terjadi . Bahkan presiden atau penguasa tak mampu merekayasanya. Tetapi sampai kapan kondisi akan negeri ini semakin terpuruk. Aku semakin pusing dibuatnya meskipun aku hanya diam bersandarkan dinding yang tak bisa berbuat apa-apa. Apakah mereka tahu yang kupikirkan saat ini.
Mungkin mereka tak memaknai aku sebagaimana mereka menciptakanku, aku hanya bisa menjadi penonton ketika DPR melantik presidennya atau melakukan sidang-sidang yang tak tahu apa tujuannya. Atau ketika seorang guru memukul muridnya yang berada dalam kelas. Atau aku hanya jadi symbol estetika di kertas suara pemilu yang memandangi muka pencoblos menjadi simbol pajangan di kantor pejabat yang tak ubahnya seperti hiasan dinding. Kalau begitu masa bodoh dengan negeri ini yang tak memaknaiku. Aku bukan lagi Bhineka Tunggal Ika sebagai mana semboyan mereka dahulu saat menciptakanku, tetapi aku hanyalah Bhineka Tinggal Ikat yang selalu jadi gantungan pelengkap hiasan dinding. Tak peduli dengan negeri ini, sebaiknya aku tidur dan bermimpi bisa terbang meninggalkan negeri yang carut marut ini

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih