cerpen icchankamin

Percakapan Tinta

Makassar 12 Maret, 2006

Jangan biarkan kepalamu berpikir untuk
Menulis, pikirkanlah bagaimana menggerakkan pena
Sehati dengan tintanya, membentuk huruf, kata, kalimat,
Paragraf, lembaran dan mencipta sebuah buku.
Hasil karya nan elok kaupandang hingga maut menanti
Mewarisi gading dibaca anakanak cucu adam kelak (anonim)



Suatu hari di catatan ini, karena lama tak menulis dan berbicara dengan tinta pena hitam, sahabat kesunyian, pelepas kegelisahan…

Saya lupa bagaimana caranya menulis dengan tinta pena, menulis huruf awal saja sudah seperti anak SD yang mirip cakar ayam seperti baru belajar menulis. Andai saja guru menulis indah, semasa SD melihat catatan jelek ini mungkin saya akan kena pukul oleh sang guru yang galak. Saya rindu menulis sesuatu, memang bukan profesi yang menjanjikan Namun saat ini menulislah yang dapat kulakukan. Kalau dahulu setiap satu kalimat yang lahir dari tinta pena yang berwarna hitam ini. Saya selalu berhenti untuk jeda sesaat, sekedar merokok dan membacanya berulang-ulang. Mengamati apakah tulisan saya terlihat rapi tanpa coretan dan membetulkan diksi yang salah. Tetapi untuk malam ini, saya tak ada niat untuk membaca ulang, mengamati ulang apakah tulisan tangan dari tinta pena berwarna hitam sahabat kesunyian ini terlihat rapi atau tidak. Karena tak ada niat untuk membacanya dari awal. Saya ingin membuatnya mengalir bergerak seperti air selama masih ada tempat atau celah yang dapat dilewati. Pokoknya mengalir terus tak peduli rintangannya tak peduli hambatannya, bukan bermaksud mengikuti filosofi air yang konon sangat elastis sebagai hal yang prinsipil dalam hidup. Tetapi menulis tanpa sekat pembatas memang mengasikkan, mengalir terus berjalan tanpa henti terkadang derasnya melambat karena rintangannya, namun air tak pernah berhenti.

Begitu kata orang terkenal kaya raya dari Bali yang mengagungkan filosofi Air. Siapa tau menulis seperti air juga mendatangkan kaya raya buat saya.

Satu kertas full habis saya pakai untuk menulis catatan ini. Saya terusik untuk membacanya kembali, saya mengingkari janji yang saya buat sebelumnya dengan tidak membacanya. Mari ganti topik percakapan tentang menulis. Sekarang kita membincang tentang wartawan,.. Sifat wartawan itu sendiri secara pribadi, yang tak jauh dari profesi tulis-menulis. Wartawan sebagaimana lazimnya menulis tak seperti air atau lebih tepatnya menulis seperti batu atau kepala batu, entahlah.

Begini yang saya ketahui. Profesi wartawan memang agak sedikit berengsek untuk beberapa orang, atau mungkin semua wartawan pengecut. Hal itu mungkin saja. Karena kalau mau disamakan dengan profesi guru tak jauh lebih mulia dari seorang yang berprofesi wartawan. Setiap berita dan informasi dicetak dan disiarkan oleh wartawan. Setiap manusia dengan tanda kutip dicetak oleh guru. Setiap amplop diterima dengan pamrih. Seperti menjual buku merasa benar ataukah menyeleweng ?. Mungkin menyelewengkan ilmu, mungkin pula menyelewengkan informasi. Toh semuanya berhak untuk merasa benar tak jauh dari subjektifitas. Apalagi kalau guru merasa benar dan tak pernah salah, tak mau ditentang. Tetapi kalau wartawan mencetak berita dan berita itu salah. Orangorang ramai mensomasi dan bagaimana kalau guru merasa benar padahal salah. Namun saya tidak bermaksud untuk merendahkan profesi ‘mulia’ seorang guru dan tak ada maksud untuk berbuat iri hati. Cuma kenyataan yang ada mungkin seperti itu. Tetapi kalau dibandingkan kerja wartawan, profesi itu tak lebih mulia dari profesi guru.

Bukan maksud untuk membenarkan, kalau memasuki bulan puasa ada wartawan yang tak menjalankan ibadah puasa dan hanya nonkrong di warung kopi sekedar istirahat. Mungkin wajar saja kalau mereka sedikit lupa dengan Tuhan. Profesi Wartawan sebuah profesi banyak tahu, tetapi bukan sok tahu dan ‘Maha Mengetahui’. Wartawan hanya sedikit tahu tentang permainan sandiwara teater, ia bukan pelakon, ia cuma pengamat mungkin bisa pasif mungkin bisa aktif ikut bermain. Tergantung siapa dalangnya. Toh ada sutradara dibalik setiap kejadian, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Ada yang mengatur tetapi bukan ‘Maha Pengatur’, ada yang bermain tetapi tidak terlibat sebagai pemain atau pelakon.
Mungkin ini salah satu penyebab seseorang yang melekat dengan profesi kuli tinta sedikit melupakan Tuhan.

Wartawan memang berengsek, karena mereka membuka aib, menyorot korupsi ini menyorot korupsi itu yang melibatkan orangorang terhormat. Tetapi wartawan sedikit tahu. Karena beberapa diantara mereka menjadi terhormat karena suka beramal ini-itu. Membangun masjid, memiliki panti asuhan, punya sekolah, memuluskan proyek si A si B, karena punya uang dan jabatan. Maka uang dan jabatan menjadikan seseorang terhormat karenanya. Tak peduli uang darimana, jabatan hasil kolusi dari siapa, jabatan karena membayar upeti untuk siapa.

Wartawan memang Berengsek, selalu membuka aib. Almarhum Putri Diana dari Inggris mungkin menyesali kematiannya di alam kubur hanya karena paparazzi. Demi Moore artis Amerika yang seksi itu menyumpahi wartawan karena memuat gambar seronok hasil jepretan paparazzi ketika sedang asyik berjemur di pantai.

Wartawan memang berengsek, sukanya membuat gosip murahan. Wajar saja si penyanyi dangdut kita Bang Rhoma jadi sewot setiap kali melihat wartawan. Duhh!, jangan sampai Bang Rhoma berhenti berdakwah lewat MIRASANTIKA-nya.

Waktu sudah berlalu menunjuk pukul tiga dinihari, sebaiknya kusudahi saja percakapanku dengan tinta pena-ku hari ini. Ya cukup hari ini kulukiskan kegelisahan, kepedihan tentang profesi ini. Cukup hari ini kuungkapkan perasaan dari lubuk hati paling dalam yang tinggal sedikit lagi belum ternoda. Entah sampai kapan….

Besok aku ada janji wawancara dengan direktur Peruhaan PT Gonogini, yang berhasil melebihi target laba perusahaan yang terbesar di bidang ekspor-impor. Saya akan wawancara dengannya. Komisinya gede, lumayan buat bayar kontrakan dan kiriman buat bapak dan mamak di kampung halaman.


Makassar, 2006

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih