Makassar itu sangat menarik untuk dikaji. Terutama karena keberagamannya. Di makassar, dahulu ada Kampung Cina, Kampung Arab, dan Melayu. Jaman belanda berkuasa, mereka, para pendatang itu ditempatkan dalam satu distrik tersendiri dibawah kepemimpinan Mayor Thoeng. Jabatan Mayor pada masa itu disematkan sebagai kepala kecamatan. Tugasnya, memungut pajak dan upeti untuk dikumpulkan kepada Ratu Belanda. Salah satu daerah kampung Cina (dulu, konotasi cina masih akrab di jaman penjajajahan sebelum adanya kerusuhan bernuansa sara) yang paling menarik adalah Jalan Sulawesi. Saya lupa nama jalan ini di jaman Belanda. Tapi saya ingin cerita perjalanan singkat saya sewaktu bekerja sebagai jurnalis meliput perihal Tionghoa di Makassar. Tjoen Tek Kie, adalah salah satu toko obat ang masih bertahan sejak jaman Belanda ini. *** Nenek perempuan itu mengenalkan diri. Namanya Tjang usianya renta sekitar 70 tahun, berasal dari etnis Kanton. Suara saya hampir lagi tak kedengaran karena nenek T
Siang hari, panas masih terik. Saya masih menyusuri jalan Irian dan sekitarnya, berputar-putar dari jalan sempit perkampungan warga keturunan Tionghoa, Jalan Sulawesi dan sekitarnya. Pun saya tersesat di jalan Nusakambangan bertemu dengan Eric Salimin-Liem Hoek Jin. Ditempatnya ia bercerita pada masa penjajahan, tentang ketokohan Mayor Thoeng di Makassar. ***** Sekumpulan tentara Jepang Tokketai memburu keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei. Mata-mata menyebut, Mayor Thoeng telah melarikan diri dari kediamannya di Jalan Bacan No 5. Tahun 1942, di perbatasan limbung Makassar, Mayor Thoeng Liong Hoei bersama tujuh anggota keluarganya dibunuh tentara Jepang. Selain Mayor, mereka yang dibunuh adalah anak sang Mayor bernama Thoeng Kok Sang, Thoeng Kok Tjien, Thoeng Kok Tjeng, dan Thoeng Kok Leang. Satu menantu Mayor Thoeng Tan Hong Teng bersama dua bersaudara Lie ikut dibunuh tentara Jepang. Sementara tiga istri sang Mayor berhasil kabur. "Hingga kini, kisah Mayor Thoeng terus bergeri
Percayalah selalu bahwa sesuatu yang kau suka dan kau lakukan berulang-ulang akan membuatmu terbiasa dan bisa. Masalahnya hanya bagaimana membuat itu konsisten, berlatih dan berlatih. Terus dan terus. Dahulu, menulis itu susah kalau tidak dibiasakan. Menulis apapun itu, menulis status, menulis cerita, menulis cerita fakta dan apapun itu. Ibarat belajar berjalan, memulainya dengan merangkak dan perlahan hingga mampu berdiri di atas dua kaki. Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Dan saya mengumpulkan apa yang dulu saya ingini. Salah satunya bermain gitar. Dan saya memulainya perlahan, dan perlahan, berlatih dan berlatih. Sampai saya berkenalan dengan Guru Gitar namanya Pak Dewa. Berkenalan di tempat les anak saya, Adlan. Saya pun memutuskan ikut les gitar dekat rumah. Awalnya sedikit malu, ikut les gitar sekelas saya yang bapak-bapak. Tapi lama kelamaan rasa malu itu jadi bodo amat, toh semua bisa belajar meski kurannya seusia bapak-bapak. Anak saya Adlan, belajar vokal. Dia ad
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..