Henry James..

Saat James Menuliskan Hantu
Cerita pendek sering ia gunakan sebagai alat untuk mengenal seorang penulis sebelum melangkah ke karya panjangnya. Entah benar atau tidak metode ini, tapi mungkin pembaca seperti ia yang menyebabkan seorang penulis cerita pendek terus-terusan ‘ditagih’, “Novelnya mana?” oleh penerbit. (Skenario itu ia ambil dari prakata ‘The Lives of Girls and Woman’-nya Alice Munro). Kali ini, penulis yang ingin ia dekati adalah Henry James. Alasannya, ia pernah membaca sepertiga ‘Portrait of a Lady’ dan cukup menikmatinya. (Tapi sepertinya harus mengulang dari awal lagi, karena sudah lupa sampai di mana) Plus, ia suka tulisan-tulisannya Edith Wharton, yang mengaku tak akan ada tanpa seseorang seperti Henry James. Masih ada lagi, ‘The Ambassador’-nya Henry James, ia tidak bisa menembus kalimat pertamanya, huks.

Jadi, pilihan jatuh pada ‘Ghost Stories of Henry James’. Walaupun ia harus memilih mengabaikan rasa takut ia karena penasaran bagaimana seorang maestro dalam cerita kehidupan sosial menulis cerita hantu. Mungkin ingin mengetes juga, apakah hantu era Victoria masih bisa membuat ia ketakutan setelah ‘The Shining’ dan citra anak perempuan kembarnya atau yang baru-baru ditonton, ‘Wind Chill’. Tapi kelakuan manusia-manusia di ‘The Romance of Certain Old Clothes’ dan ‘The Ghostly Rental’, dua cerita pertama di kumcer itu, lebih membuat ia bergidik (agak) ngeri daripada kelakuan hantu-hantunya. Di ‘The Romance of Certain Old Clothes’, ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Viola dan Perdita Willoughby, terhadap satu sama lain dan pada dirinya sendiri. Baik saat keduanya sama-sama hidup atau saat salah satunya sudah mati. Sementara di ‘The Ghostly Rental’…yah, ia tidak bisa bercerita banyak, takutnya malah jadi spoiler.

Intinya itu, mereka tidak pernah tahu sejauh mana ketahanan hati manusia. Ada ungkapan bahwa lewat fiksi mereka bisa mengetahui sejauh mana manusia bisa berlaku, mencapai, berjalan atau punya kemampuan. How far we can go. Sesuatu yang, lewat dua cerita pendek Henry James, terbukti tidak hanya terbatas pada fiksi orang hidup. Lewat cerita tentang yang sudah mati, ternyata ‘go’-nya yang hidup masih bisa diceritakan. Kematian tak jadi batas akhir ‘go’ itu. Mungkin malah jadi awal.

Selain itu, pesan lainnya…oh, mungkin ini. Jangan pernah bermain-main dengan mereka yang sudah mati. Bukan pesan yang baru, tapi sepertinya cukup manjur.


saya mengutipnya dari teroka cerpen, sekedar mengenang Henry James yang wafat 28 februari 1916..

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih