diskon amal

Saya mau memulainya dengan barangkali. Kata ini, sangat pas dan masuk akal untuk menerka sesuatu yang tidak sebenarnya asal-asalan. Dengan tidak bermaksud, melampui Tuhan yang Maha, saya mencoba menerka-nerka sesuatu yang terjadi ke depan dengan keadaan saya yang sebenarnya. Asumsinya, saya percaya Tuhan dengan segala hal yang bermakna dan sangat terkait dengan diri kita sebenarnya.

saya ingin mengandai Tuhan sebagai teman yang baik, penunjuk jalan-tempat kita tersesat. Jadi, ijinkan saya bercurah hati kepadanya (dengan tidak memakai huruf besar)..

Saya pernah kecewa yang betulbetul kecewa. bahkan kepadamu saya menyerahkan diri ini sepenuhnya untuk kaubawa sebisa dan sejauh mungkin, dari sesuatu yang mereka anggap tabu. Tetapi tidak dengan mencaci ciptaanmu yang paling mulia sekalipun. Bagaimana pandanganmu dengan sesuatu yang kauanggap tabu namun tidak bertanya kenapa. Diantara banyak ciptaanmu yang sejenis dengan saya, mereka hanya berserah diri kepadamu dengan mengucap kalimat pujapuji untuk memohon ampun supaya memohon harap dikabulkan. Tentu, sayapun melakukan itu, tetapi itu pasti belum-belum cukup di hadapanmu. Alangkah belum cukup hanya dengan berbekal pujapuji di hadapanmu

Hanafia-Pengemis Berkaki Buntung

Cerita ini saya mulai dengan kisah perempuan tua kaki buntung bernama Hanapia. Saya menemukannya di masjid Jumatan dekat tempat kerja saya. Tentu saja, saya tidak menyangka, kau bakal mempertautkan saya dengan Ibu Hanapia ini. Ia adalah seorang ibu tua limupuluan tahun yang cacat kusta. Dari perkampungan Kusta yang berjarak kilo-kilometer menuju tempat mengemisnya. Ibu Hanapia sehari-hari mendorong gerobak sandarannya dengan kedua tangan, yang jarinya hampir tidak terlihat lagi. Ia menggunakan sepasang tongkat kecil sepanjang sepuluh senti yang seharihari digunakan mendayuh jalanan beraspal.

Setiap jumatan tiba, saya pasti menemukannya di tempat yang agak jauh dari kelompok pengemis lainnya. Dan kau tau, ia adalah langganan tempat beramal saya. Saya harap kau tidak menghukum saya karena lebih memilih beramal kepada Ibu Hanapiah ketimbang beramal di rumahmu--tempat saya berdoa. Tapi jika kau memaapkan saya, tentu saja saya memakluminya oleh cerita tetangga yang rajin memungut sumbangan pembangunan masjid yang tidak juga selesai.

Tidak ada yang istimewa dari perempuan kaki buntung bernama Hanapia ini. Tentu saja kaupun tau kalau perempuan tua ini berasal dari Madura. Begitu juga dengan muasalnya yang melarikan diri karena dibuang keluarganya garagara kusta. Ia melarikan diri ke Makassar bersama seorang kawannya, yang cacat sama dengannya.

Sebagai langganan tempat saya beramal, ia mulai mengenal wajah saya. Setiap kali memberikan selebaran ribuan di tengadah tangannya, malu-malu saya melihat wajahnya yang serupa Malaikat. Sungguh, ia serupa Malaikat yang barangkali kau mengutusnya untuk saya. Dan jika ia adalah malaikat yang kau turunkan, saya ingin sekali meminta diskon kepadamu.

Ibu Ludya-Perempuan Pengantar Bambu

Perempuan tua bercucu satu ini, adalah perempuan pengantar bambu. Saya tidak mudah membayangkan seperti kau mudah membalikkan sesuatu, dengan seorang perempuan tua renta bersendal lusuh mendorong gerobak bambu di jalan raya. Namanya Ibu Ludya-asal Toraja. Memeluk islam sejak menikah dengan lelaki tua asal Makassar. Tapi ibadah baginya adalah persoalan kerja mencari uang mendorong bambu atas perintah majikan-punggawa pemilik bambu. Ia adalah tetangga saya, dan langganan tempat mengutang di toko ibu saya. Kau tentu saja mengetahui seorang anak perempuannya yang disunting lelaki tidak bertanggung jawab.

Nama perempuan itu Ecce. Sebelum bertemu dengan si lelaki, Ecce adalah perempuan manis yang periang. Tapi, sejak kau mempertemukannya dengan seorang lelaki yang tak jelas menurut saya, perlahan wajah Ecce mulai berubah sayu, semakin sayu hingga kulit wajahnya setipis tulang kentara sekadar melengket. Apalagi semenjak Ecce melahirkan seorang anak, si lelaki sungguh jarang mengunjungi Ecce yang tinggal serumah dengan Ibunya-ibu Ludya, di Gubug reog samping rumah saya.

Padahal, pernah saya melihat wajah Ibu Ludya begitu bahagia, saat Ecce akan menikah dengan lelaki itu. Wajah yang sekali lagi serupa senyum Malaikat itu sangat sungging di bibirnya yang mengeriput. Ibu Ludya mengantar sendiri undangan itu ke rumah kami-ibu saya.

Tapi, semenjak ia memiliki seorang cucu perempuan, ibu Ludya bekerja sangat keras---hingga malam tiba. Senyum sungging serupa Malaikat itu, hampir tak pernah lagi saya lihat jika ia berbelanja ke toko ibu. Saya sudah meminta kepada ibu, untuk melupakan utang dua minggu yang tidak dibayarkannya.

Ibu Ludya adalah langganan tempat berutang di toko ibu, jika ada penghapusan utang seperti itu, bolehkah saya meminta diskon kepadamu ?

Achank-Pengidap HIV Sebelum Meninggal

Sebenarnya ini adalah cerita diamdiam yang hanya milik saya. Tapi karena kau maha tau, tentulah kau pun tau kisah Achank yang mati gantung diri ditinggal lari dari Istri garagara penyakitnya. Achank terjangkit HIV sejak remaja karena ketagihan jarum suntik. Tapi saya sebagaimana kautau ia ingin berubah, sejak saya bertanyajawab dengannya. Berkalikali ia menanyakan kepada saya, andai-andai waktu bisa diulang. Achank ingin sekali melihat anaknya bisa masuk pesantren.

Tapi jauh sebelum itu--sebelum istrinya meninggalkannya, ia tau sebisa mungkin menutupi penyakit itu dari keluarganya. Tapi saya mengetahuinya jauh lebih dulu sebelum keluarganya tau. Karena Achank bertetangga dengan tempat kerja saya. Tak jarang ia mengunjungi saya diamdiam. Sekalisekala ia meminta uang kepada saya, sekadar uang jalan ke tempat Rehabilitasi. Tentu saja ia diamdiam, tidak mengidap HIV meski wajahnya mulai hitam dan tampak kurus.

Hingga suatu hari, ia terburu-buru dan bertemu saya di tempat kerja. Ia memohon diantar menuju Rumah Sakit Wahidin, untuk perawatan memelas kondisinya yang sudah semakin parah. Tapi sebelum ia meminta diantar, ia bercerita tentang pelariannya dari rumah sakit Labuang Baji, karena diskriminasi yang dialaminya. Suster-suster di tempat itu merasa jijik melayaninya, katanya.

Tapi sungguh, kaupun tau saat itu saya tidak bisa membantu mengantar karena sesuatu dan lain hal. Saya hanya merasa kasihan, sangat kasihan berharap ada Malaikat membantunya. Saya hanya memberikan selebaran uang terakhir di kantong saya, 20 ribu rupiah.

Tapi entah kenapa dua hari kemudian saya mendapati kabar, seorang lelaki bunuh diri dengan gantung diri di rumahnya. Kau tau khan itu Achank..

Andai ada diskon di 20 ribu rupiah itu, saya ingin sekali melihat seorang Anak Achank tersenyum sungging, serupa malalaikat kecil mengingat ayahnya.. ayahnya yang dulu berandai ia kelak masuk pesantren..

dimanakah ia dengan ibunya itu tuhan, masih berlakukah diskondiskonku yang lain.

jika ia, serahkan saja kepada anak Achank.....

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih