Tukang, Pilihan Saya Sekarang

Saya bukan tak suka, cuman memang saya tak mampu mengikuti jalanmu. Jalan itu tinggi sekali. Seperti menyanyikan lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung Tinggi--Tinggi Sekali. Hehe, tapi tak ada yang tidak bisa. Semua bisa asalkan ikhlas dan selalu berusaha. Nasib bisa diubah, tapi takdir entahlah. Saya belum pernah mencoba mengubah takdir.

Masalah takdir, saya akan bercerita kisah saya bersama seorang teman yang selalu menjadi sahabat saya. Kami berdua pernah bercita-cita menjadi dokter. Kami berasal dari keluarga sederhana. Ayah saya bekerja di kantoran swasta sebagai pegawai biasa. Ayah teman saya adalah pedagang yang membuka toko kelontongan di rumah. Di sekolah, kami tak pintar-pintar amat. Tapi cita-cita kami tinggi sekali, dan kami bersemangat waktu itu.

Kami lulus SMA dan berniat memburu cita-cita itu, menjadi dokter. Kami mendaftar di kampus yang sama. Pilihan pertama tentu saja kami memilih fakultas kedokteran. Pilihan kedua selanjutnya kami masih memilih fakultas yang sama, Ilmu Politik dan Sosial. Tapi saya yang masih imut dan bersemagat waktu itu, harus menerima takdir lain. Saya tak lolos untuk pilihan pertama saya. Tapi teman saya yang satu ini berhasil lolos di fakultas pilihannya.

Keinginan teman saya yang bercita-cita menjadi dokter terbuka lebar. Ya, dia lolos di pilihan pertamanya, Kedokteran. Saya mau tak mau harus menerima takdir. Melanjutkan kuliah di Fakultas Sospol. Tentu saja teman saya juga sangat bersemangat.

Dua tiga tahun berjalan, saya menikmati masa-masa perkuliahan. Saya pikir teman saya yang lolos di kedokteran itu juga merasakan hal yang sama dengan saya. Tapi tidak, di tahun kedua dia berhenti di fakultas yang dicita-citakannya itu. Masalahnya sederhana, tidak punya biaya.

Sejak saat itu saya berpikir, kita bisa mengubah nasib, asal kan mau sebenarnya bisa. Tapi kalau takdir, saya akui memang selalu di atas segala-galanya. Tuhan memang maha besar, memilih jalan hidup yang lain dari pilihan kita. Tapi pilihan yang lain itu, saya yakini sebagai pilihan terbaik. Saya yakin dan percaya itu.

Sekarang saya tak pernah bercita-cita lagi. Saya menjalani apa yang diberikan Tuhan saat ini. Tapi semampunya, saya berusaha memelihara pilihan saya, dan saya yakin Tuhan memilih jalan ini untuk saya, menjadi tukang tulis. Entah sementara atau selamanya.

Ya, tukang--seperti tukang kebanyakan..

Comments

  1. setidaknya kau sudah bisa menentukan untuk menjadi tukang apa. karena ada juga yang belum...

    ReplyDelete

Post a Comment

sekedar jejak..

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih