Benda Sepele di Tangan Anda

Saya lupa sejak kapan saya memakai jam tangan. Tapi banyak cerita saya punya sejak memiliki jam tangan. Seumur-umur assesoris tubuh saya hanya ada dua. Kacamata dan jam tangan. Kacamata saya pakai sejak kelas satu SMA. Jam tangan, setahun kemudian tak pernah absen menjadi assesoris kedua saya.

Kacamata, memang wajib, sebab mata saya minus tiga dan empat. Jika jimat satu itu tak kepakai, seolah panca indera saya hilang satu. Berbeda dengan jam tangan. Kalau yang ini (jam tangan) hilang, juga tak lengkap bagian tubuh saya.

Selain itu, memang ada banyak assesoris lain di tubuh saya tapi tak bertahan lama. Misalnya cincin, manikmanik gelang, dan kalung. Kacamata dan Jam tangan sudah menjadi azimat buat saya, tak memakai salah satunya, seperti ada yang hilang.

***
Saban pagi dahulu kala di atas angkot menuju ke sekolah saya bingung melakukan sesuatu. Berdempet ria di atas angkutan umum dengan berbagai bau parfum dan bebau lainnya membuat saya kikuk. Daripada memandangi wajah orang-orang di atas angkot, saya memandangi jam tangan saya. Memandangi jam tangan, tentu saja saya kian tau seberapa lama saya tiba ke sekolah menggunakan angkot.

Berangkat jam tujuh pas di pagi hari saya bisa tiba di sekolah sekitar 15 menit kemudian. Lewat dari itu, pasti membutuhkan waktu setengah jam. Seringkali saya menemui angkot yang sama jika berangkat tepat pukul tujuh pagi. Selepas SMA, saya sudah pakai jam tangan yang mencantum tanggal. Jam ini asyik. Misalnya, saban kuliah, ada saja teman mahasiswa yang bertanya kala ujian, "sekarang tanggal berapa dan hari apa?" jika sudah begitu saya selalu nyeletuk duluan dibanding orang yang ditanya.

Kegemaran saya terhadap jam tangan semakin tak bisa lepas ketika tangan kiri saya mengalami keretakan akibat bermain bola semasa mahasiswa. Akibatnya, setelah diurut kirikanan, hingga dirawat oleh dokter tulang yang sekarang rektor Unhas Idrus Paturusi, tetap saja tangan kiri saya tak bisa kembali normal. Tangan saya, tepat di antara lengan dan penggelangan jadi bengkok.

Setelah diamati, dan terus mengamatinya, saya ambil hikmah, barangkali ini berkah. Sejak saat itu, saya selalu memakai jam tangan sebelah kiri, sekadar menutupi cacat saya. Iya, kalau sudah bengkok, berarti cacat namanya. Kalau cacat, tentu saja saya tak akan bisa mendaftar akademi seperti sekolah Akademi Militer misalnya. Tapi syukur, saya tidak doyan masuk begituan.

Alhasil, sejak saat itu, jam tangan selalu menjadi bagian dari saya. Manusia-manusia memakai jam tangan hanya berarti dua hal. Bisa jadi hanya gaya-gayaan, dan satu lagi ia betul-betul memperhatikan waktu, atau menggabungkan keduanya, gaya dan betul-betul memperhatikan waktu.

Saya, barangkali berada pada pilihan manusia yang memperhatikan waktu. Ini penting setelah memahami apa itu waktu. Ilmuwan mendunia yang menulis Lubang Hitam macam Stephen Hawkins juga selalu menulis buku erat kaintan dengan waktu. Djenar Maesa Ayu mengarang Waktu Nayla, Einstein apalagi dengan Relativitas tentu erat dengan waktu. Saya akan merasa paling jengkel, jika orang-orang yang bertemu dengan saya dan memakai jam tangan, bertanya ulang. "Sekarang jam berapa, sekarang tanggal berapa?"

Saya bukan mau seperti mereka. Tapi, saya percaya orang-orang yang selalu memikirkan tentang waktu termasuk orang yang beriman. Beriman, karena mereka percaya tuhan. Dan waktu adalah bagian dari strategi tuhan untuk mempertemukan juga menjauhkan kita. |Foto Pariwara Jam Tangan |

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih