A i n a


Dan berbait-bait puisi telah dilantunkan di bawah sinar bulan purnama dan payung langit. Bintang-bintang gemerlapan masih ada yang malu menampakkan diri. Sesekali ada satu-dua bintang mengintip, sejam, duajam. Kemudian mereka menghilang lagi. Barangkali malu, pun mereka bergantian menutupi seluruh wajah bersama awan yang samar di malam hari.

Cahaya lilin dalam gelas menari-nari, dan mungkin juga tertawa sebahak-bahaknya meratapi sepasang lelaki dan perempuan saling beradu gengsi malam itu. Dan, sebuah meja kecil yang bundar menjadi sandaran yang hanya cukup untuk keduanya. Semuanya bersaksi malam itu.

Aina menutup wajahnya. Kedua tangannya menahan malu bukan kepalang. Diajak seorang lelaki yang bagi kebanyakan perempuan tak mungkin ditolak. Materialis, romantis, puitis, dan karismatik, cap yang paling tepat disematkan kepada lelaki yang sekarang berada di depan Aina.

"Aku menyukaimu dengan caraku yang paling sembunyi. Kau tau, kenapa aku mengajakmu ke sini? Itu karena rasa sukaku sudah tak tahan, dan butuh tempat yang tepat menyatakannya Aina. Di tempat ini," ujar sang lelaki yang sedari tadi menatap mata, mencari celah di jemari yang menutupi wajah Aina.

Kerongkongan Aina tiba-tiba kering, ia mengambil segelas air putih di depannya. Sedikit tegang barangkali. Aina belum membalas pertanyaan genting dari sang lelaki. Ia hanya menatap cahaya lilin di depan gelasnya. Sewaktu-waktu Aina mendongak ke atas, ke samping, menatap bulan atau mencari bintang- bintang.

Sang lelaki, sudah menghabiskan empat batang filter, juga barangkali, sekadar mengusir tegangan yang sama dengan Aina. Kakinya saling berpangku di atas paha bergantian, bergoyang- goyang, sehingga mantap ketukan sepatu yang seirama menunggu jawaban perempuan di depannya.

Lelaki itu hanya ingin menunggu jawaban yang singkat kepada perempuan di depannya. Perihal kepastian di tengah detikdetik yang yang pendek, namun sebenarnya terasa panjang. Lelaki itu butuh jawaban malam ini.

Aina adalah perempuan yang seharusnya sudah menikah di usianya delapan bulan ke depan, menginjak usia 27 tahun. Aina perempuan yang luwes, periang, dan bisa dikira ia banyak kenalan karena pekerjaannya memungkinkannya bergaul dengan banyak orang. Sebagai seorang pemasar perusahaan terkemuka, penampilannya juga tak seronok.

Aina masuk klab jilbabers yang digandrungi peremaja yang khas dengan pakaian ala-ala tertutup. Sebagai penasehat jibabers, Aina sering dijadikan ikon di kalangan peremaja kalangan ini. Mulai dari lipatan kain di atas kepala yang menutupi rambut hingga lapis-lapis pakaian yang menutupi tubuhnya, juga, apapun bahan dan mode jilbabers yang dikenakan Aina, kerap dijadikan saran kepada para penggandrungnya.

Aina berangkat dari universitas negeri yang jauh dari tempatnya bekerja sekarang. Sebelum penampilannya banyak digandrungi, dahulu ia hanya seorang sarjana pemasaran berpakaian tertutup ala siswa pesantrenan, menenteng ijasah di ibukota mencari tempat, menutupi bekal utang di kampung halaman.

Aina takluk malam itu. Malam yang ditunggu lelaki didepannya. Ia mengangguk malu tanpa suara dan tatapan mata kepada sang lelaki. Isyarat itu barangkali pertanda jawaban kepada lelaki didepannya. Sedetik kemudian, Aina bergegas meninggalkan lelaki itu.

Ia berlari sekencang-kencangnya tak peduli tapak jalan dan busana ala jilbabers juga sepatu tinggi yang dikenakan sobek, berlumur lumpur di atas rumput. Hanya satu tujuan, Aina menuju mobil yang diparkir berdampingan dengan mobil sang lelaki. Segera ia sambar segengam ponsel pintar di atas dashboar usai membanting pintu dan senyap selanjutnya sendirian di dalam mobil.

"Sayangku Auliah. Aku berharap, hubungan kita tetap berlanjut. Kulepas kau bersama calonmu. Biarpun kau menikah nanti, kuharap kita tetap menjaga hubungan yang ada selama ini, salamku buat suamimu nanti, yang karismatik itu."



|foto sketsa saya ambil di google:stetraveler.wordpress.com|

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih