Penyintas

 



"Apa yang yang tampak oleh mata belum tentu sesuai dengan yang sebenarnya. Apa yang terlihat di media-media sosial lewat foto-foto selfi tidak selalu atau bahkan dominan tidak bahagia." 

Saya mengutip pernyataan ini dari seorang kawan yang saya jumpai di warung kopi beberapa hari silam. 

"Abang tau, berapa orang masyarakat Indonesia terutama kaum muda milenial, pun yang berkeluarga tidak bahagia?" tanyanya kepada saya. Saya hanya menyeruput kopi Hazelnut saya, sembari mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. 

Kawan satu ini adalah pejabat BUMN, punya pekerjaan sosial yang dibilangnya investasi sosial. Sebelum memaksa pertemuan dengannya, saya sudah menduga kawan ini, punya aktivitas sosial yang padat. Saya menebak, jam terbangnya tinggi dalam arti pengalaman dan lingkungan tempat dia berbaur melampaui banyak orang lainnya sebagai seorang pejabat di BUMN. 

Pemadat, aktivitas seks bebas dan perjudian online adalah dunianya di masa muda. Akan tetapi ia pun belum terlalu tua untuk ukuran usia 40 tahunan sebagai seorang pejabat di BUMN. Ia bukan pejabat di Kementerian BUMN, namun ia punya jabatan di perusahaan BUMN cukup ternama. 

Perjumpaan kami, ketika saya mulai mengenal perjalanan hidupnya yang singkat dan keras di sebuah warung kopi itu bukan untuk mengorek informasi. Melainkan meminta pertolongan lewat koneksi sebagai seorang pejabat di salah satu perusahaan BUMN. 

Saya datang lebih awal di warung kopi itu. Sekira setengah jam dari janji pertemuan kami. Dia mengelola- katakanlah semacam lembaga sosial nirlaba untuk anak-anak muda yang dilanda depresi. Depresi atau penyakit mental ini bisa berdampak sangat buruk. Puncaknya keinginan bunuh diri. Penyebabnya didominasi faktor lingkungan. Keluarga, teman sepergaulan dan ajakan lain yang berefek pelarian. 

Obat-obatan penyebab candu, kehidupan malam, duit judi dan perempuan adalah dunia yang berputar begitu-begitu saja. "Saya lima sampai enam tahun bang bergelut di dunia seperti itu. Hingga akhirnya saya capek, mulai menata diri dengan berobat lepas ke psikiater banyak baca buku motivasi diri. Hingga akhirnya saya tampil sebagai penyintas," ucap kawan ini. 

Sebagai penyintas, ia akhirnya berinisiatif bersama teman-teman penyintas lain yang pernah merasa depresi dan sembuh mendirikan sebuah yayasan. Dia menyebutkan kepada saya bahwa dominan masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda merasa depresi. Penyebabnya bermacam-macam. Tapi lingkarannya, kalau bukan lingkungan ya keluarga. Rasa kecewa, atau rasa senang hingga memuncak kekecewaan. Dengan kata lain kekecewaan tidak bisa diatur pun dikontrol dengan baik berujung depresi. 

Di negara-negara maju, penyebab depresi semisal stress yang berlebihan karena kerjaan yang berujung candu minuman keras dan obat-obatan adalah penyakit mental yang tidak selalu bisa disembuhkan dengan obat-obatan kimiawi, bahkan lewat psikiater sekalipun. 

"Yang dibutuhkan adalah berbagi. Orang-orang semacam ini hanya perlu didengarkan bang. Dan itulah yang saya lakukan bersama beberapa kawan lain sebagai penyintas. Kami berbagi pengalaman lewat media sosial. Dan lewat media sosial sampai saat ini cara paling efektif," katanya. 

Berapa jumlah pasien lewat yayasan ini? sekitar dua ratus orang dan sejak pandemi bertambah terus. Dua ratus pun, bukan jumlah satu Indonesia, melainkan hanya di provinsi Bali. "Itu baru Bali bang. Belum satu Indonesia. Sangat banyak orang yang bisa diselamatkan hanya dengan berbagai atau ingin didengar," ucapnya. 

Kawan ini tak mau menyebut atau memanggil dengan sebutan pasien. Ia menyebutnya sebagai member. Lalu, bakal kemana arah yayasan ini, ketika si kawan tidak lagi aktif sebagai pejabat BUMN? Pertanyaan ini terus membenak di saya. 

Ternyata kawan ini sangat visioner. Kalau pernah mendengar aplikasi Halodoc-semacam aplikasi konsultasi gratis di smartphone, maka arah yayasan ini akan seperti itu. Setiap orang atau member bisa melakukan konsultasi lewat applikasi. 

Karena ingin didengar atau berbagi aplikasi ini suatu saat akan melayani konsultasi darin para penyintas. Jika gejalanya ringan, bisa diatasi oleh para penyintas lain memberikan saran atau berbagi pengalaman. Akan tetapi jika gejalanya berat, didalam aplikasi itu akan terhubung dengan psikiater hinggar dokter bergelar spesialis kejiwaan sekalipun. 

Saya menyambut positif. Artinya tidak ingin berpikir macam-macam tentang ekspansinya nanti jika yayasan ini dibisniskan lewat startup nantinya. Kawan ini yang saya sukai, karena dia penyeruput kopi, suka bercerita dan satu lagi. Dia suka meditasi, katanya meditasi adalah melepaskan stress lewat keheningan. 

"Tapi lain halnya jika ingin melepas stress lewat keramaian. "Saya teriak-teriak saja di pantai, jika saya pulang kampung ke Bali. Saya teriak sepuasnya di depan ombak. Lega bang, wong jarak rumah ke pantai cuman 20 meter."

Ya. Ia penyintas lewat taruhan judi malam dan obat-obatan di masa itu, ia suka meditasi dan satu lagi, ia pencerita yang baik, dan saya pendegar yang baik. Klop, saya tentu saja tertarik sekadar tidak abai dengan ceritanya begitu saja. "Ajak saya sekali-sekali, siapa tau ada pengalaman saya yang bisa dibagi. Saya bukan penyintas, tapi saya pendengar yang baik dari orang-orang yang punya pengalaman masa lalu yang kelam. Sampai sekarang."

Oh ya sekali-sekali kalau ada yang berminat dengan yayasan itu, bisa ke alamat ini Anxiety Care. Mari berbagi cerita. 

Ngomong-ngomong, foto saya tidak ada hubungannya kalau saya tidak bahagia ya. Cuman sekadar eksis dari Menteri yang tak tergantikan ini.. Salimm 




















 





 








 








Justru yang tak kasat mata, tak tergambarkan 

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih