Gen Z dan Informasi yang Disampaikan - Apa Kabar Penganut Jurnalisme

 


Hai.. Apa khabar, setelah lama tak bersua. Akhir-akhir ini saya banyak disibukkan dengan aktivitas kuliah dan pekerjaan juga sebagai bapak rumah tangga.

Lama berkecimpung di industri media rasa-rasanya semakin abu-abu saja batas antara kerja-kerja pers dengan industri media atau sebut saja industri pers. Hal ini dimulai sejak ancaman disrupsi mulai melanda dunia pers sekarang. Setiap orang kini dengan mudah tampil, berbicara sebagai pemberi informasi hanya dengan menampilkan satu atau dua narasumber lalu kemudian bertanya mengonfirmasi fakta-fakta yang berkaitan dengan narasumber yang dihadirkan. 


Podcaster, youtuber atau tiktokers dengan mudah menampilkan sebuah informasi. Diakui memang, menampilkan visual, gambar dan suara membuat sebuah informasi yang disajikan lebih menarik lewat ketiga saluran tadi (Podcaster, youtuber atau tiktokers). Bahkan penyajiannya lebih menarik ketimbang mendengarkan sebuah berita di televisi, alih-alih membaca berita. Untuk generasi kekinian seperti Gen Z cenderung melihat informasi pertama lewat platform media sosial Tiktok, Youtube maupun Instagram (Mckinsey 2024)

Ini saya kira wajar-wajar saja mengingat interaksi generasi ini adalah generasi yang berinteraksi lewat booming internet dan media sosial-bukan generasi 'susah' seperti generasi baby boomers yang pernah merasakan hidup tanpa listrik dan terangnya lampu.

Jadi, jika Gen Z mendapatkan informasi pertama lewat media sosial, lantas apakah informasi itu ditelan mentah sebagai informasi yang tepat?

Inilah pentingnya literasi tentang Jurnalisme. Lalu apa Jurnalisme itu, ini adalah anut atau paham tentang rasa menyampaikan informasi yang benar dan akurat. Artinya kalau belum tentu benar ya jangan diumbar lewat katanya-katanya. Pakem atau ilmunya juga ada, namanya jurnalistik

Di pelajaran-pelajaran jurnalistik kampus seperti media pers dan ilmu komunikasi jurnalistik disebutkan begini: Tidak semua informasi layak menjadi berita. Akan tetapi berita sudah pasti mengandung informasi yang akurat dengan proses keberimbangannya melakukan konfirmasi sehingga laik dipercaya.

Sekarang ini dengan mudahnya informasi disampaikan lewat berbagai platform media internet dan digital. Yang lebih parahnya lagi, informasi tersebut selalu mengumbar urusan atau ranah pribadi. Padahal, selaik-laiknya informasi itu adalah informasi yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. 

Apa itu informasi yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang? 

Barangkali semacam fnformasi yang membuat kamu-kamu ini bisa tenteram dan sejahtera hidupnya. Makanya perbanyaklah membaca dari sumber-sumber yang valid dan sah sebagai sumber informasi. Misalnya pemberitaan media, buku-buku cetak dan elektronil pun jurnal dan penelitian ilmiah. Tapi apakah Gen Z paham yang begini-begini. Mungkin ada yang paham, tapi tidak banyak. 

Saya ingin mencatut catatan akhir kuliah dari Prof Septiawan, seorang dosen komunikasi yang rendah hati ini. Begini: 

Jurnalisme berubah 

Septiawan Santana K. 


Kini mulai menjadi instrumen deliberatif dalam demokrasi. Gejalanya terjadi pada dekade kedua Abad 21 di Amerika ketika kalangan wartawan berubah menjadi engagement specialists (spesialis pelibatan). Para wartawan tradisional kian tersisih dengan wartawan engagement specialists, para wartawan yang khusus melakukan pelibatan dengan sesuatu. Para engagement specialists ini sengaja melakukan kegiatan relasional dengan khalayak, secara langsung dan online, untuk terlibat memproduksi berita. Kegiatan itu dilakukan secara rutin. Hal ini menggambarkan adanya perbedaan pengertian jurnalisme. 


Jurnalisme tradisional menekankan objektivitas sebagai produk, dan menjadi saluran (deliberatif) publik. Sebagai saluran ekspresi publik, jurnalisme mendapat legitimasi masyarakat karena sikap independensi. Jurnalisme mendapat kepercayaan masyarakat sebagai institusi yang independen, tidak dipengaruhi oleh relasi atau agenda individu. Dari sanalah, jurnalisme tradisional dikenal sebagai kelembagaan yang menjaga “jarak” dengan pemerintah dan publik. Hal itu kini berubah. Perubahannya terjadi bila dikaitkan dengan apa yang disebut kegiatan jurnalisme, “do journalism”. Kegiatan jurnalisme tidak lagi seperti dulu. 


Kehadiran content creator merubahnya. Tenaga Internet dan online mengubah kerja jurnalisme menjadi bersifat partisipatif-deliberatif. Orang perorang kini diajak ikut membuat dan menyebarkan informasi. Wartawan menjadi pengisi konten medium baru, bersama warga. Wartawan menjadi enggagement specialist, melibatkan diri dengan isu, kepentingan, kebutuhan, dan lainnya, dari warga yang diajak serta: memproduksi dan mendistribusikan informasi. 


Temuan itu ditulis Zahay et al. (2020)1 pada jurnal Journalism and Mass Communication Quarterly pada bulan September 2020. Zahal et al. melakukan wawancara, dengan puluhan wartawan AS, dan mengkaji ratusan halaman teks dari situs web, media sosial, dan artikel media massa. 


Peran jurnalisme dalam kehidupan publik Amerika dan demokrasi berubah. Berbagai organisasi berita melakukan perubahan, merombak ruang redaksi, mencari mitra dengan berbagai yayasan, dan menghidupkan media sosial sebagai ruang kepercayaan publik. Wacana profesional baru tentang apa itu jurnalisme, dan apa yang dilakukannya, serta jenis hubungan baru dengan audiens: dikembangkan. 


Konfigurasi infrastruktur, kultural, dan geopolik 

Maka itulah, jika menyimak kajian Hartley et al. (2023), penerbit berita telah dikonfigurasi oleh platform. Semua itu karena faktor ketergantungan yang amat sangat. Konfigurasi ketergantungan penerbit berita terhadap platform berita terjadi secara infrastruktur, kultural, dan geopolitik. (Hartley et al., 2023)


Berdasarkan kepentingan publik, pemerintah Cina membuat berbagai kebijakan yang menyangkut konten dan penyebaran pesan dari media daring komersial. Dampaknya, kekuasaan media menjadi lemah bila melibatkan publik, secara daring, di dalam kegiatan mereka. 


Pemerintah India melarang TikTok ( Bersama dengan 58 aplikasi Cina lainnya) dengan alasan keamanan nasional (Pahwa, 2020) Hal ini diikuti Lembaga penyiaran layanan public Denmark, untuk menghapus TikTok dari dari telepon genggam. Akan tetapi, tabloid Denmark, Ekstra Bladet, malah mengembangkan konten berita TikTok dikarenakan begitu banyaknya khalayak mereka yang berusia muda yang menggunakan platform tersebut. Di Afrika Selatan, asosiasi berbagai media terbesar (Publisher Support Services) menuntut Google dan Meta untuk memberikan kompensasi pada berbagai outlet berita, pada berbagai berita yang digunakan di platform mereka. Mereka membuat kebijakan tersebut untuk keberlanjutan industri berita lokal. 















Comments

Popular posts from this blog

Gaya Komunikasi Caturwulan Pemerintahan Prabowo Subianto

Krisis Politik Awal Pemerintahan dan Potensi Teragitasinya Terhadap Rakyat